Bank Sentral Sebagai Episentrum Literasi Ekonomi, Bisakah Menjadi Navigasi Warga Sulsel Menuju Smart Citizen?
Sumber Gambar: Metro TV |
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kantor Wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua) mencatat fakta yang mencengangkan: lebih dari seratus aplikasi pinjaman online legal kini beroperasi secara aktif di kawasan ini. Tidak hanya itu, angka transaksi pinjaman online di Sulsel telah mencapai satu triliun rupiah (Kompas, 2023). Angka yang bukan main, ini bisa menggambarkan bagaimana keuangan digital kini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari—dari kota besar seperti Makassar hingga wilayah pesisir dan pedalaman. Namun, di balik jumlah yang spektakuler itu, ada hal yang penting untuk kita pahami lebih jauh. Bahwa dalam kondisi ini, ada kerentanan struktural yang masih jarang dibahas, mulai dari rendahnya tingkat literasi ekonomi dan digital masyarakat, yang pada akhirnya membuat mereka rentan terhadap penyalahgunaan layanan, eksploitasi oleh platform tidak etis, hingga tekanan psikososial akibat beban utang yang menumpuk.
Literasi ekonomi di sini tidak semata soal mampu menghitung bunga atau mengoperasikan aplikasi, tetapi menyangkut pemahaman menyeluruh tentang risiko, konsekuensi, dan kemampuan mengambil keputusan ekonomi secara rasional dan etis. Tanpa hal itu, teknologi yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan, justru berubah menjadi perangkap finansial. Lusardi & Mitchell (2014), menjelaskan bahwa rendahnya literasi keuangan berkorelasi signifikan dengan perilaku peminjaman yang berisiko tinggi, ketidaksiapan menghadapi darurat finansial, serta kerentanan terhadap praktik keuangan predatoris (seperti pinjaman berbunga tinggi). Bahkan di negara-negara maju, kelompok dengan literasi ekonomi rendah cenderung memilih produk keuangan yang merugikan mereka sendiri.
Lebih parah lagi, sekarang kita bisa melihat ada fenomena baru yaitu gagal bayar (galbay). Fenomena sengaja gagal bayar pinjaman online menjadi perbincangan publik seiring menjamurnya grup-grup di media sosial yang membicarakan upaya lepas dari jeratan utang. Hal ini bukan hanya mencerminkan krisis finansial di tingkat individu, tetapi juga menunjukkan adanya disonansi kognitif massal, di mana masyarakat membangun justifikasi moral terhadap tindakan tidak membayar utang dengan cara mengalihkan kesalahan pada sistem.
Fenomena ini makin meluas melalui platform digital seperti TikTok, Facebook, dan Telegram. Grup-grup yang menyebut diri sebagai “pejuang gagal bayar” saling berbagi strategi menghindari tagihan, menyebarkan tutorial memblokir nomor penagih, hingga membuat konten viral yang mengolok-olok debt collector. Hal ini bukan semata bentuk resistensi pasif, tetapi menunjukkan bagaimana norma sosial baru terbentuk dalam ruang krisis literasi ekonomi.
Lebih dari itu, ini menandakan krisis kepercayaan terhadap sistem keuangan digital. Menurut Guiso, Sapienza & Zingales (2008) dalam jurnal Trusting the Stock Market, kepercayaan terhadap lembaga keuangan sangat menentukan partisipasi publik dalam sistem ekonomi formal. Ketika sistem pinjaman dianggap tidak transparan atau tidak adil, trust deficit pun terjadi, yang menghambat terciptanya masyarakat yang adaptif dan produktif secara ekonomi.
Dalam konteks Sulawesi Selatan—yang memiliki budaya kolektivitas kuat dan nilai sosial yang berakar dalam seperti siri' na pacce (harga diri dan solidaritas)—fenomena ini juga menimbulkan konflik internal. Di satu sisi, masyarakat merasa terdorong untuk membantu keluarga atau tetangga yang terjerat pinjol. Di sisi lain, mereka harus menghadapi dilema moral: membantu melunasi utang dari sistem yang mereka anggap mencekik. Namun, dalam situasi yang terus memburuk ini, masyarakat tidak bisa terus-menerus dibiarkan berlayar tanpa arah di tengah gelombang besar digitalisasi keuangan. Perlu ada nakhoda yang tidak hanya memegang kendali sistem, tetapi juga membantu masyarakat membaca arah angin dan mengenali badai. Di sinilah peran Bank Sentral menjadi sangat krusial.
Bagaimana Bank Sentral Menjadi Nahkoda?
Selama ini, banyak yang memahami Bank Indonesia hanya sebagai lembaga teknokratis yang mengurus inflasi, suku bunga, dan kestabilan moneter. Namun kenyataannya, Bank Sentral modern—terutama dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia—memiliki mandat yang jauh lebih luas. Ia menjadi arsitek ekosistem keuangan yang sehat, inklusif, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Termasuk di dalamnya adalah mandat untuk mendorong literasi ekonomi sebagai dasar partisipasi finansial yang bermakna.
Di tengah krisis literasi dan merebaknya fenomena galbay akibat jeratan pinjaman online, Bank Sentral berada dalam posisi kunci—sebagai episentrum literasi ekonomi yang dapat menavigasi masyarakat, termasuk di Sulawesi Selatan, menuju bentuk kehidupan finansial yang lebih adaptif dan berdaya.
Fenomena pinjaman online, yang di satu sisi merupakan inovasi akses keuangan, kini justru menjadi wajah dari disorientasi finansial yang meluas. Di berbagai wilayah Sulsel, pinjol tak lagi hanya digunakan untuk kebutuhan darurat, tetapi menjadi “solusi cepat” untuk konsumsi non-produktif—mulai dari pembelian ponsel hingga memenuhi gaya hidup media sosial. Ketika pembayaran macet, muncul tekanan dari penagih, lalu disusul gelombang “gagal bayar” yang tidak hanya merusak catatan kredit, tetapi juga merusak hubungan sosial, reputasi keluarga, bahkan harga diri.
Dalam konteks inilah, literasi ekonomi menjadi tameng utama, dan Bank Sentral menjadi pihak yang paling mampu menyusun pertahanan sistemik terhadapnya. Tidak cukup hanya membiarkan masyarakat “mengenal” produk keuangan, mereka perlu memahami, menimbang, dan memilih berdasarkan nilai dan nalar. Di sinilah program-program literasi yang dikembangkan oleh Bank Indonesia perlu berevolusi: dari informasi menjadi transformasi.
Bank Indonesia, dalam perannya sebagai nakhoda perubahan, telah menunjukkan arah baru dalam membumikan literasi ekonomi sebagai gerakan sosial yang menyentuh nalar sekaligus nilai. Di tengah derasnya arus disinformasi finansial dan maraknya praktik pinjaman daring yang menyesatkan, pendekatan BI tidak berhenti pada penyuluhan formal, tetapi mulai menembus ruang-ruang hidup masyarakat. Edukasi tidak lagi berbentuk jargon-jargon teknis, tetapi diramu dalam bahasa yang akrab dengan kehidupan sehari-hari warga Sulsel—dari pasar rakyat hingga ruang tamu komunitas pengajian.
Dengan memanfaatkan nilai-nilai lokal seperti siri’ dan pacce, BI mengubah literasi keuangan menjadi bagian dari narasi kolektif—bahwa mengelola uang dengan bijak adalah soal menjaga martabat diri dan harmoni sosial. Ini penting, sebab fenomena gagal bayar bukan hanya soal kelalaian individu, melainkan bagian dari krisis nilai dalam sistem yang terlalu cepat berubah tanpa fondasi pemahaman yang kuat.
Pendekatan berbasis komunitas berpotensi dalam menguatkan strategi ini. Ketika edukasi berlangsung di warung kopi dan sekolah kejuruan, ketika QRIS diperkenalkan bukan hanya sebagai alat bayar tetapi juga sebagai pintu diskusi tentang perilaku konsumtif dan jebakan kredit mikro, maka literasi mulai bertransformasi menjadi kebiasaan berpikir. Bank Indonesia tidak lagi tampil sebagai institusi teknokratik yang jauh, tetapi hadir sebagai rekan diskusi masyarakat—mendengar, memahami, dan merespons sesuai kebutuhan lokal.
Lebih dari itu, komitmen proteksi terhadap konsumen pinjol dan galbay juga menjadi bukti bahwa literasi ekonomi bukan hanya soal edukasi, tetapi juga soal keberpihakan. BI bersama OJK semestinya aktif memblokir aplikasi pinjaman ilegal dan memperkuat sistem pengawasan, menjadikan kebijakan sebagai perisai yang nyata bagi mereka yang paling rentan. Dan di sisi lain, monitoring berkelanjutan melalui data seperti SNLIK memastikan bahwa setiap langkah bisa dievaluasi dan disempurnakan. Di Sulsel, di mana indeks literasi ekonomi masih berada di bawah angka nasional, langkah ini sangat krusial.
Bisakah Kita Membentuk Smart Citizen?
Dengan semua itu, jelaslah bahwa Bank Indonesia tidak hanya menjalankan perannya sebagai pengatur sistem ekonomi makro, tetapi juga sebagai arsitek perubahan sosial mikro. Ia tidak sekadar mengarahkan kapal besar bernama perekonomian, tapi juga memperhatikan setiap penumpang yang mungkin tersesat dalam ruang digital finansial. Dan dari sinilah akan tumbuh warga Sulsel yang bukan hanya cakap digital, tetapi juga cerdas, kritis, dan berdaya—smart citizen yang mampu menavigasi hidupnya di tengah perubahan zaman, dengan akal sehat dan nurani sosial sebagai kompas utama.
Di berbagai situasi ekonomi yang pelik inilah, muncul pentingnya membentuk Smart Citizen—yakni warga yang tidak hanya melek digital dan ekonomi, tetapi juga memiliki daya pikir kritis, kesadaran sosial, dan keteguhan nilai. Seorang smart citizen mampu menilai mana pinjaman yang sehat, mana yang menipu. Ia tahu hak dan kewajibannya sebagai konsumen keuangan. Ia tak mudah terjebak pada rayuan bunga rendah tanpa membaca konsekuensinya. Dan yang paling penting: ia memiliki kontrol atas pilihan-pilihan ekonominya.
Smart citizen bukanlah produk instan. Ia tumbuh melalui proses sosial yang panjang, melalui sinergi antara edukasi, penguatan institusi, dan ruang partisipasi publik yang sehat. Bank Sentral memiliki posisi strategis untuk memfasilitasi proses ini. Namun keberhasilan menciptakan warga cerdas ekonomi tidak akan pernah bisa tercapai jika tidak melibatkan tokoh lokal, media komunitas, guru, tokoh agama, dan para pemuda Sulsel sendiri. Dengan membangun jembatan antara teknologi dan nilai lokal, antara kebijakan makro dan kebutuhan mikro, antara kekuatan negara dan partisipasi warga, Bank Sentral dan Smart Citizen dapat menjadi dua pilar utama dalam mengarahkan Pinisi Sulsel menuju masa depan ekonomi yang lebih adaptif, adil, dan bermartabat. Karena literasi ekonomi sejatinya bukan tentang menjadi kaya, tapi tentang menjadi berdaya—dan di Sulsel, keberdayaan selalu berakar dari harga diri dan solidaritas.
Daftar Pustaka
Lusardi, Annamaria, and Olivia S. Mitchell. 2014. “The Economic Importance of Financial Literacy: Theory and Evidence.” Journal of Economic Literature 52 (1): 5–44.
Guiso, L., Sapienza, P., & Zingales, L. (2008). Trusting the stock market. the Journal of Finance, 63(6), 2557-2600.
Kompas (2023) Transaksi Pinjol Warga Sulsel Tembus 1 Triliun (Online) Link https://www.kompas.tv/regional/457041/transaksi-pinjol-warga-sulsel-tembus-1-triliun diakses 22 Juni 2025
Post a Comment: